Gantung Koruptor!, Di Monas, DPR Atau Istana?

Bookmark and Share
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, disebutkan dalam pasal 2.2 disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.




Bila melihat isi undang-undang tersebut, maka pihak pengadil telah mempunyai payung hukumnya. Namun perlu penjelasan lebih jauh lagi atas isi undang-undang tersebut terkait kalimat "�..dilakukan dalam keadaan tertentu�.", karena bisa menjadi celah perdebatan yang cukup panjang antara pembela hukum terdakwa dengan hakim dan jaksa penuntut.

Anggaplah bahwa hukuman mati bisa diterapkan atas pelaku tindak pidana korupsi dalam tingkatan nilai tertentu dari dana negara yang diselewengkan. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah hukuman mati yang bagaimanakah yang diperkenankan oleh undang-undang?, apakah hukum mati dengan cara di pancung, kursi listrik, tembak atau hukum gantung?

Mengingat ada politisi yang sudah bersedia untuk digantung di Monumen Nasional bila terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka pilihan hukuman mati dengan cara digantung bisa menjadi alternatif yang ideal saat ini. Dengan alasan bahwa hukum gantung biasanya bisa disaksikan oleh banyak orang dibandingkan hukuman mati lainnnya. Sehingga bisa memunculkan rasa takut dan efek domino terhadap pelaku dan calon pelaku tindak pidana korupsi lainnya.

Namun pemilihan tempat yang dimaksud oleh politisi tersebut untuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati dengan cara digantung bukanlah tempat yang ideal baginya bila terbukti bersalah. Karena Monumen Nasional sudah menjadi tempat wisata yang paling sering dituju oleh wisnu dan bahkan wisman untuk melepaskan lelah diakhir pekan. Selain asri dan murah meriah, Monas tentunya tidak ingin menjadi tempat paling "horor" setelah dijadikan tempat menggantung para koruptor dan menurunkan tingkat kunjungan ke monumen bersejarah tersebut.

Jika dihubungkan dengan efek jera, maka pemilihan Monas sebagai tempat eksekusi hukuman gantung bagi para koruptor bukanlah tempat yang tepat. Karena bukan tidak mungkin Monas akan menjadi tempat yang paling tidak direkomendasikan untuk dikunjungi oleh para koruptor yang sedang menunggu giliran. Kalaupun mereka di undang untuk menyaksikan eksekusi pun akan banyak dalih yang bisa dilontarkan untuk tidak menghadiri. Kalaupun terpaksa hadir pun, Monas akan segera terlupakan karena jauh dari tempat mereka melakukan aktifitasnya sebagai politisi.

Pelataran gedung DPR dan Istana Negara sebenarnya sangat ideal sebagai tempat pelaksanaan hukuman mati dengan cara digantung. Karena di kedua tempat tersebut para pejabat negara dan politisi melakukan aktifitasnya sebagai pengemban amanah rakyat.

Bila para pejabat dan politisi menginjakkan kaki dikedua tempat tersebut akan terus-menerus diingatkan oleh ekseskusi-eksekusi yang telah terjadi yang menimpa kolega-koleganya, sehingga diharapkan efek jera cukup mendapatkan porsi yang besar bila kedua tempat tersebut yang dipilih.

Mengingat kini sudah zamannya otonomi daerah, pemilihan tempat eksekusi bisa disesuaikan dengan daerah masing-masing. Pelataran DPRD Kota/Kabupaten dan pelataran gedung dinas Gubernur/Walikota bisa dijadikan alternatif pelaksanaan hukuman mati dengan cara digantung.

Secara politis pemilihan kedua tempat tersebut bisa sangat membantu bagi terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih dari tindak pidana korupsi, serta menjauhnya para wakil rakyat dari sikap-sikap yang tidak amanah kepada para konstituennya.

Jangan kotori Monumen Nasional dengan para koruptor!

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger